MELACAK SEJARAH GALUH DARI SUKADANA
oleh Cisay Perebu Wangi (Yaya Sunarya)
Mahasiswa IAID Ciamis, Aktif di Komunitas Tapakkaruhun


Sukadana adalah salah satu kecamatan di Tatar Galuh Ciamis yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Rajadesa sebelah utara, Cipaku sebelah barat, Cijeungjing sebelah selatan, dan Cisaga sebelah timur. Daerah yang berjarak kurang lebih 20 km dari pusat kota Ciamis ini bisa ditempuh menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Alat tranfortasi umum dari dan ke Sukadana masih minim sekali, walaupun ada beberapa  angkutan umum roda empat, tapi armadanya bisa dihitung dengan jari, oleh karena itu jangan heran jika calon penumpang harus berdiri berjam-jam untuk sekedar menunggu angkutan jika hendak ke Sukadana ini. Dan apabila menggunakan kendaran roda dua harus dipastikan kondisinya prima karena akan menempuh medan jalan yang naik turun, tapi perjuangan anda akan berubah menjadi kekaguman, sebab udara yang sejuk, bukit-bukit indah, persawahan dengan sisten terasering khas pegunungan akan memanjakan mata sepanjang perjalanan.
Kecamatan Sukadana  yang  sebagian besar geografisnya adalah hutan jati milik Perum  Perhutani  Ciamis ini memang jarang sekali terjamah dan terpublikasikan potensinya. Padahal banyak terdapat potensi budaya  dan sejarah yang masih terkubur dan membutuhkan perhatian khusus dari para pemangku kepentingan untuk digali dan dikembangkan menjadi potensi wisata sekaligus menambah kajian sejarah Galuh di masa lalu sebelum musnah ditelan zaman.
Dari hasil penelusuran penulis, setidaknya ada beberapa situs peninggalan sejarah yang di dominasi oleh kuburan kuno dan beberapa batu pamangkonan (symbol peribatan agama nenek moyang) yang kurang terawat, sebut saja keramat Gunung Cariu, Gunung Sembung, Gunung Pantun,  Janggala, Adipati Rahong, Leuweung Gede, Pajaten, Pecat Dudukuy, Kamuning, Madukara, Bojongnagara, Buyut Candradirana, Situs KH. Mursalim, dan masih banyak lagi. Dari situs-situs tersebut diatas semuanya terkonsentrasi di Desa Bunter.
Salah satu Situs yang masih menjadi punden desa adalah Situs Gunung Cariu Menurut penuturan abah Cahdi (kuncen Gunung Cariu), kampung Cariu didirikan pertama kali oleh seorang tokoh yang bernama Buyut Candradirana, yang kini pusaranya terdapat di kampung tersebut. Cariu merupakan siloka dari cari, ciri, dan carita yang berarti carilah niali-nilai budaya leluhur dengan mengenali cirri-cirinya, kemudian ceritakanlah pada anak cucumu bagaimanakah tatacaranya. Tak heran di Dusun Cariu dan Sukarasa terdapat beberapa budaya khas Sunda yang masih dipelihara, misalnya Ronggeng dan Wayang Golek. Oleh karena itu wajar jika Sukadana disebut gudang seni, karena memang banyak melahirkan seniman-seniman yang cukup dikenal di Tatar Galuh Ciamis.
Situs Gunung Cariu  yang terletak di kampung Cariu ini sarat dengan nilai sejarah, terdapat dua buah batu pamangkonan tepat di puncaknya, benda cagar budaya tersebut dipercaya merupakan peninggalan Prabu Kalangsari.  Menurut kuncen yang berusia lebih dari setengah abad itu,  Situs Gunung Cariu  masih berhubungan erat dengan kerajaan Galuh dan Pajajaran. Beralasan memang, karena letaknya berdekatan dengan situs Gunung Susuru dan Situs Karangkamulyan di Cijeungjing. Seperti situs-situs kabuyutan pada umumnya, Gunung Cariu merupakan bukit yang lumayan tinggi, punggungnya dipenuhi dengan berbagai vegetasi hutan  yang dibiarkan tumbuh bebas, berbagai pohon berukuran besar dan tinggi menjulang seolah menjadi saksi bisu perjalanan panjang kabuyutan ini. Menurut Ki Kuncen Cahdi, dahulu bukit ini bernama Cikuray, yang merupakan singkatan dari Ciri, Kukuh, dan Rahayu, sehingga mengandung arti “bangsa yang memegang teguh jati diri dan kepribadiannya akan berdiri kokoh dan rahayu (sejahtera) diantara bangsa-bangsa lain”. Namun karena terletak di kampung Cariu, lambat laun orang menyebutnya dengan gunung Cariu.
 Menurut legenda yang banyak dipercaya masyarakat sekitarnya, tokoh yang pertama kali membangun kabuyutan ini adalah Eyang Sri Gandawesi yang di percaya sebagai Panday (Empu) yang menyuplai berbagai pakarang, khususnya keris dan kujang yang diperlukan oleh kerajaan Galuh. Sebagai salah satu bukti yang dapat dijadikan dalil bahwa pernah ada panday di Cariu ini, banyak ditemukan berbagai pakarang kuno yang kini disimpan di kediaman kuncen. Menurutnya, sebagian pakarang tersebut ditemukan di areal situs, sebagian lagi merupakan warisan dari para sesepuhnya yang secara turun-temurun menjadi juru kunci di situs ini. Diantara pakarang yang dimaksud adalah Keris, Kudi, Tombak, Gobang, Kuli, Pedang, dan lain-lain yang jumlahnya lebih dari 40 buah. Disamping itu, kecamatan Baregbeg yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Sukadana, merupakan sentra panday yang memproduksi berbagai pakarang tradisional dan modern secara turun temurun di Tatar Galuh Ciamis, hal ini bisa menjadi petunjuk bahwa nenek moyang mereka merupakan panday ulung dimasanya. 
Tradisi Yang Hilang
Di Kampung Cibangban yang tidak jauh dari  Cariu, terdapat beberapa Situs yang berupa makam kuno yang sebagian besar sudah tak terawat, diantaranya adalah Keramat Kamuning. Di kabuyutan ini terdapat dua makam kuno yang dipercaya sebagai makam Dalem Raheut dan Arya Kamuning. Tokoh yang disebutkan terakhir dipercaya sebagai pendekar sekaligus ulama dari Cirebon yang menyebarkan agama Islam di Tatar Galuh. Yang menarik, disana terdapat saung kabuyutan semacam musium yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan pusaka warisan leluhur berupa Keris, Kujang, Gobang, Tombak, dan lain-lain. Pusaka tersebut disimpan dalam dua peti, Termasuk sebuah baju Kere/jirah.
Namun sungguh disayangkan, sekitar tahun 90-an pusaka-pusaka tersebut raib entah kemana, hingga kini tak seorangpun tahu dimana rimbanya. Beberapa tetua kampung yang saya temui pun geleng-geleng kepala ketika ditanya keberadaan pusaka tersebut. Mereka hanya ingat bahwa dahulu setiap menjelang mulud selalu diadakan hajat lembur. Seluruh penduduk kampung tumpah ruah memenuhi halaman kabuyutan, pusaka-pusaka dikeluarkan kemudian dibersihkan. Tapi sekarang, seiring dengan raibnya pusaka-pusaka tersebut, tradisi yang menjadi ciri khas pengaruh Islam Cirebon itu juga turut hilang. Bahkan saung kabuyutan sempat roboh karena tak terawat, baru pada tahun 2013 penduduk bergotong royong membangun kembali saung tersebut tanpa merubah bentuk aslinya. Ada kamungkinan pusaka tersebut dicuri oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Terkait dengan hal diatas menurut Pandu Radea, budayawan Ciamis,  memaparkan bahwa wilayah Kecamatan Sukadana memiliki kandungan sejarah sejak jaman purba, klasik dan masa Islam. Terkait dengan Cariu yang banyak menyimpan beragam pakarang terkait dengan masa-masa pergolakan dari masa klasik. Abad 8, Mpu Anjali mengumpulkan 799 panday domas untuk membuat pakarang dalam upaya membantu Bimaraksa dan Sang Manarah (Ciung Wanara) merebut takhta Kerajaan Galuh dari tangan Tamperan Barmawijaya. Sukadana tidak jauh dari Geger Sunten di Kecamatan Tambaksari yang menjadi basecamp Sang Bimaraksa (Aki Balangantrang) membangun pasukannya. Dilanjut pada masa Sunda Galuh berpusat di kawali, terjadi peristiwa perang antara Prabu Sirnaraja (Raja bawahan yang berkuasa di Rajadesa) dengan adipati Rahong penguasa Citapen Tambaksari, peristiwa perang itu dikenal dalam folklor sebagai Perang Rahong.
Masih Menurut Pandu Radea, wilayah Cariu Sukadana yang memiliki panday-panday turunan dari masa Mpu Anjali terus memproduksi pakarang terutama saat masa Kerajaan Galuh Kertabumi sampai masa kabupaten Utama karena tahun 1641 Galuh dipecah jadi 5 kabupaten atas persetujuan Sultan Agung Mataram, yaitu Imbanagara, Bojonglopang, Utama, Kawasen Dan Banyumas.  Dan Sukadana yang berada dibawah kekuasaan Kabupaten Utama, terus dilanda konflik peperangan. Tahun 1704 M wilayah, Bojonglopang, Utama, Kawasen dilanda kerusuhan yang digerakan oleh Haji Prawatasari dan Raden Alit.  Tahun Dari tahun 1718 sampai 1789, Ciancang (nama sebelum menjadi Utama) tiga kali diserang oleh pasukan penjarah dari Banyumas, sehingga salah satu peristiwa itu dikenal dengan nama Bedah Ciancang. Dan wilayah Sukadana dekat sekali dengan pusat pemerintahan Ciancang,  saat ini di Desa Utama (Kecamatan Cijeungjing).
“Jadi tidak heran jika di Sukadana banyak ditemukan pakarang karena dulunya wilayah para Mpu sekaligus wilayah konflik” Ujar Pandu Radea.




Komentar

Postingan populer dari blog ini